Satu bantingan pintu mengakhiri percakapan dengan ibu sore itu. Gemuruh masih saja menguasai dada. Lamat-lamat terdengar suara malaikat yang menegur untuk tidak melanjutkan sikap kedurhakaan terhadap orangtua tunggalku.
Kesiur angin yang sejuk menyelinap melalui teralis jendela kamar. Setelah melewati waktu dalam kebisuan hati ini perlahan mendingin dan tak lagi memerah. Ah sejak kapan aku kembali menjadi gadis yang liar? Mudah sekali emosi menjamah tutur kata, membiarkan sebuah rasa yang aku kira cinta membutakan hati beserta akalku.
Apakah benar itu adalah cinta?
Jika demikian, mengapa ia tak jua bermuara kepada kehalalan?
Aku membuka kembali buku bersampul hati warna merah yang menjadi saksi bisu hidupku. Sekejap aku terseret ke dalam vakuola memori yang membawaku ke sebuah masa di mana keimanan itu membungkus indah hati yang pernah patah. Termangu. Rindu. Jika saja aku bisa menghias kembali hati ini dengan kesucian untuk cinta yang hakiki.
Dan kini, takdir tengah menempuh titahNya. Air mata ibu dan jarak yang semakin membentang antara aku dengan yang terkasih semakin menyudutkan hati ini.
Ikhlaskan menjalani keinginan ibu. Ingatlah, ridha orang tua adalah ridha dari Tuhanmu.
Aku mengenalnya sebagai mas Imo. Seorang kakak kelas di SMA. Dia berwajah lugu namun santun dan ramah. Siapa saja pasti akan nyaman berteman dengannya. Apalagi di sanggar seni milik sekolah kami. Tidak ada yang bisa mengocok perut penonton selain pantomimnya mas Imo. Si wajah lugu itu.
Siapa yang bisa menyangka, kehendakNya mempertemukan kami kembali dalam sebuah group WhatsApp hingga berlanjut ke dunia nyata. Dan tak perlu menunggu penghujan datang, guyuran air kelegaan menyirami hati seorang ibu yang tak henti melantunkan doa untuk kemudahan jodoh putri tunggalnya.
“Ibu ingin kamu menikah dengan nak Imo.”
Tiada raut terkejut, aku sudah menerkanya jauh-jauh hari. Memang beberapa kali Mas Imo menanyakan hal yang sama padaku. Berkali pula aku mengatakan bahwa aku masih mencintai orang lain. Walaupun cinta itu tidak seharusnya.
Namun, berjalannya waktu menegaskan kembali alur TakdirNya yang begitu mulus untuk menyandingkan aku dengan Mas Imo. Kurang dari satu tahun aku telah resmi berstatus istri. Ibu tak henti-hentinya berterima kasih kepadaku dan tak letih pula ucap syukur terlantun dari bibir sepuhnya. Tentang lelaki itu, entah! Sampai detik ini tak ada kabar. Aku semakin yakin, aku tak salah menerima pinangan mas Imo.
Sama halnya kemudahan dalam proses pernikahan aku dan mas Imo, semudah itu juga aku perlahan mencintainya. Dalam sekejap aku mudah akrab dengannya, seperti seorang sahabat yang telah lama terpisah. Aneh? Tentu saja. Atau memang inikah yang namanya Jodoh? Entah!
Aku mulai mencintainya dan menerima pernikahan ini, tapi bayangan lelaki itu masih saja enggan untuk sirna. Sudah berkali-kali menghapus nomer telponnya, tetap saja aku bisa menemukan kembali nomer itu di diariku. Tak jarang aku menghubunginya walau hanya bisa mendengar jawaban dari operator.
Apakah bisikan setan yang aku dengar atau isi hatiku sendiri, kata perandaian selalu terngiang. Andai lelaki itu yang menjadi suamiku. Andai saja aku masih menunggunya. Andai saja… Ah, apakah sesungguhnya keikhlasan belum sepenuhnya aku rasakan dalam pernikahan ini?
Andai saja aku segera memusnahkan diari itu, aku tak akan melihat mas Imo menitikkan airmata saat ia tak sengaja membacanya. Jika saja aku tak lalai dan tertidur di atas buku itu, dapat dipastikan senyum mas Imo tak akan sirna seperti hari-hari biasanya. Kini aku tersiksa jika tak mendapati senyum manis itu terurai untukku.
“Sedang apa, Qhaira?” sapaan lembut ibu mertuaku membawaku keluar dari kelindan memori.
“Ibu, maaf. Ada apa?” segera aku perbaiki wajah sedih ini sebelum ibu mengetahui isi hatiku.
Perempuan berstatus ibu adalah makhluk ajaib yang memiliki ketajaman indera di luar nalar.
Jika sebelumnya pada awal pernikahan ibu memberikan pesan kepadaku dan mas Imo tentang ‘pertengkaran’ suami istri. Pada malam sebelumnya memang benar kami mengalaminya hingga aku sempat melepaskan cincin pernikahan kami. Padahal aku sangat tahu pasti, Mas Imo bukanlah lelaki yang akan membawa keluar masalah yang ada di rumah tangga kami.
“Ra?”
Secepat kilat aku memperbaiki mimik wajah namun selalu saja kalah oleh indera perasa ibu.
“Ada masalah dalam pernikahan kalian?“ tanya ibu sambil merapatkan pelukannya di balik jilbab lebarku.
“Tidak Bu,” aku terdiam sambil menenggelamkan wajah dalam Teddy bear di pelukanku.
“Yakin?”
Hening. Aku menggigit pelan ujung bibirku. Kejujuranku kadang datang tanpa bisa ditahan. Perlahan gigitan makin mengeras, mencoba menahan untuk tidak mengatakan ada laki-laki lain di hatiku. Jika ibu mengetahuinya tentu saja itu akan membuat ruyam segalanya.
“Ra… Ibu selalu mengingatkan semua anak-anak ibu. Hidup itu sekali, dan satu kali juga dalam membina rumah tangga. Sekalut atau seberat apapun masalah yang ada, jangan sampai ada perpisahan.”
Deg!
Seketika detik terasa tak berdetak.
“Wajar. Pernikahan kalian baru seumur jagung. Adaptasi memang tak singkat.” Kali ini ibu mengelus pelan ubun-ubunku.
“Kamu tahu kenapa ibu memberi nama Imo kepada suamimu?”
Aku menggelengkan kepalaku. Mukhammad Nrimo Setiawan. Aku mengingat-ingat kembali. Selama ini aku tak mengetahui nama panjang mas Imo. Memang terdengar aneh saat aku baca namanya di buku nikah kami. Nrimo?
“Dulu kami hanya menamainya Mukhammad Setiawan. Di usia satu tahun kami hampir kehilangan harapan, ibu sangat takut Nrimo pergi meninggalkan kami untuk selamanya.”
Aku terkesiap, perlahan aku melepaskan pelukan Teddy dan beralih memegang tangan ibu mertuaku. Kedua mataku menyipit, tak sabar mendengarkan kelanjutan cerita ibu tentang suamiku.
“Dia dulu jatuh dari ranjang, dia mengalami kejang-kejang. Dokter bilang pendarahan otak. Dia tak sadarkan diri lebih dari seminggu. Ayahnya Imo mencoba melapangkan hati ibu jika hal yang ditakutkan terjadi. Ibu juga hampir putus asa, tapi wajah Imo yang begitu tenang tanpa menunjukkan rasa sakit membuat ibu tak berputus asa.” Cerita ibu terhenti, tangan rentanya mencoba menghapus air mata yang hendak jatuh dari sudut matanya.
“Sepertinya Imo ikhlas akan apa yang menimpanya, genggaman jari mungilnya tiba-tiba begitu kuat melingkari telunjuk ibu. Seketika ibu memantapkan hati. Imo akan selamat, hanya membutuhkan kesabaran dan doa-doa yang harus terus terlantun. Setelah malam-malam panjang di ujung sajadah yang ibu gelar. Doa kami akhirnya diijabah oleh Allah. Tangisan Imo memecahkan keheningan malam, membuat ibu menyudahi qiyamullail dan bergegas berlari mencari dokter jaga.” Ibu menutup ceritanya dengan mendaratkan tubuhnya ke arahku.
“Ibu…” aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa merangkul balik tubuh ibu yang mulai bergerak mengikuti Isak tangisnya.
“Semua orang berkata Imo adalah anak kesayangan kami karena dia anak bungsu, tapi itu tidak benar. Ibu dan ayah menyayangi semua anak-anak kami. Hanya saja, setiap mengingat kejadian itu ibu selalu saja terbawa suasana dan tanpa sadar kasih sayang ini menjadi berlebih kepada Imo. Dulu sempat semua saudara Imo menjauhinya, Imo tanpa ada guratan sedih atau kemarahan selalu membalas dengan kebaikan. Entah dengan membersihkan kamar kakak-kakaknya, tetap menyapa, bahkan dengan suka rela membantu apapun yang dibutuhkan saudara-saudaranya. Hingga suatu saat Imo kembali merasakan kehangatan kasih dari mereka. Itulah Imo, selalu Nrimo segala hal yang dihadapinya.”
“Qhaira, hidup itu akan terasa berat jika tidak dijalani dengan keikhlasan bukan? Cobalah sejenak untuk memejamkan mata, membiarkan sang hati yang berbicara. InshaAllah itu adalah sebuah kebenaran.”
“Kamu sedang bakar-bakar sampah dik? Sini mas bantuin, kan kamu ada asma!” tangan mas Imo segera mengambil lembaran-lembaran buku harian yang ada di tanganku.
“Eh jangan mas! Jangan dibaca ya! Aku malu! Siniin!”
“Emang ini apa?” hatiku bergejolak, dengan singkat aku berhasil merebutnya.
Aku mencoba untuk selalu jujur kepada mas Imo sejak obrolanku dengan ibu sore itu. Aku ingin benar-benar ikhlas. Tentang semuanya. Terutama dengan pernikahan kami. Aku ingin mencontoh sikap mas Imo yang selalu Nrimo.
Hujan gerimis mulai turun perlahan. Tetesan airnya mengenai helaian daun dan membasahi tanah yang kering. Tumpukan sampah dedaunan dan kertas yang aku bakar tadi telah padam dam menyisakan asap yang mengecil.
“Enggak sayang kertasnya dibakar?” tanya Mas Imo.
“Aku ingin membakar semua kenangan itu mas, dan menggantinya dengan kisah baru tentang kita.” Selorohku sembari jemari mencubit tangan mas Imo yang tengah memangku dagunya.
“Yakin?”
Aku hanya bisa mengganggukkan kepala. Malu. Tapi jemari mas Imo memegang daguku dan mengangkatnya hingga wajah merahku dapat terlihat jelas olehnya.
“Jadi, sekarang hanya ada aku sebagai present dan future untukmu kan sayang?”
Tak ada jawaban yang bisa aku sampaikan selain sebuah pelukan yang aku daratkan padanya. Membiarkan benang-benang keikhlasan itu terajut mendekap hangat kami berdua.
Cerpen oleh Bintang Arini
1 Maret 2021