Menara Tua
Di tengah hutan, berdirilah sebuah menara tua tanpa tangga. Seorang gadis tinggal di
puncaknya. Rapunzel, biasa ia dipanggil. Berdiam di menara sejak ia mengenal dunia. Peri hutan
yang memberi makan dan merawatnya.
Rapunzel ingin keluar dari menara tua itu. Ia ingin menjelajah dunia yang hanya bisa
dipandang dari balik jendela. Para peri melarangnya, dengan alasan ia tercipta untuk ditolong
sang pangeran yang akan tiba pada waktunya. Rapunzel marah, menolak takdirnya dipegang
oleh seorang pria.
Tiba saatnya takdir memanggil. Sang pangeran datang dengan kuda putih dan
membawa bunga. Berseru, “Rapunzel, Rapunzel, ulurkan rambut panjangmu. Aku ingin naik.” Terulur dari atas, kepang rambut berwarna emas. Sesuatu terikat di ujungnya. Tubuh kaku sang
putri tergantung. Ia lebih memilih mati dibanding pindah ke sangkar emas lainnya.
Apel Beracun
Seorang wanita bungkuk berjalan tertatih lalu berhenti di depan sebuah pintu.
Jemarinya yang kasar mengetuk pelan. Seorang gadis berkulit seputih salju, berbibir semerah
darah membukakan pintu untuknya.
“Nak, nenek menjual apel yang sangat manis. Belilah satu, agar aku bisa menyambung
hidup.” Tanpa curiga, sang gadis membeli sebuah. Lalu, melahapnya di depan sang nenek.
Perempuan tua jelmaan ibu tiri jahat Si Putih Salju menyeringai keji. Sebentar lagi, Sang Putri
akan mati, terkena racun yang ia suntikkan ke dalam apel.
Putih Salju memakan buah itu sampai habis, lalu berterima kasih dan masuk kembali ke
dalam gubuk. Nenek penyihir tak menyangka harapannya kandas. Dengan penasaran, ia
mengambil sebutir apel dalam keranjang dan memakannya. Ingin tahu, mengapa racunnya tak
bekerja. Hanya segigit, ia langsung terkapar. Racunnya ampuh. Hanya saja ia lupa, Putih Salju
tak lagi mempan terhadap racun berkat si ibu tiri yang rutin meracuninya sedari kecil.
Sepatu Kaca
Iring-iringan panjang mengular dari alun-alun ke rumah Cinderella. Rumahnya yang
terletak di ujung adalah rumah terakhir, sekaligus harapan terakhir yang dikunjungi pembawa
pesan dari istana. Tangan si penerima titah baginda sudah pegal membawa sepatu yang
diletakkan di atas bantal berbordir emas. Ia harus menemukan sang putri cantik yang menawan
sang putra mahkota saat berdansa dengannya semalam.
Cinderella bersiap diam-diam. Ia mengambil pasangan sepatu yang ia pakai di pesta
dansa. Jika orang istana melihatnya, mereka pasti sadar bahwa ia adalah putri yang dicari.
Namun saat ia melihat sepatu yang ditunjukkan pria itu, ia terkejut. Sepatu yang dibawanya
terbuat dari kaca, sedangkan sepatu miliknya hanya sepatu kain sederhana tanpa hak.
Tengah malam tadi, semua berubah seperti sediakala termasuk sepatu yang dikenakan
Cinderella. Pangeran yang melihat alas kaki butut itu merasa malu harus membawanya berkeliling kerajaan. Lalu, menggantinya dengan sepatu kaca. Jelas-jelas hanya peduli dengan
nama baiknya.
(Pentigraf kependekan dari Cerpen Tiga Paragraf yang digagas oleh sastrawan dan
akademikus, Dr. Tengsoe Tjahjono. Meskipun pendek, pentigraf tetap harus memiliki tokoh,
alur, dan konflik.)
Pentigraf ditulis oleh Mirna Rizka