FORUM LINGKAR PENA SEJARAH, KONSEP DAN GERAKAN [1]

Photo of author
Written By flpbali

 oleh : Helvy Tiana Rosa[2]

 
Abstrak
Forum Lingkar Pena adalah komunitas (calon) penulis yang didirikan 22 Februari 1997. Dalam sepuluh tahun perkembangannya, FLP menjadi wadah ribuan orang untuk mengasah diri sebagai pengarang/ penulis, menerbitkan lebih dari 600 buku, bekerjasama dengan tak kurang dari 30 penerbit, dan membuka cabang di  dari 125 kota di Indonesia dan manca negara, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, Inggris, dll. Para aktivisnya kemudian mendirikan Rumah- Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di setiap sekretariat cabang FLP. Tak hanya menyentuh kalangan intelektual, FLP menjadi wadah gerakan para ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan,  hingga pembantu rumah tangga.  Ada pula FLP Kids yang ditujukan bagi anak-anak dan menjadi motor bagi bangkitnya kanak-kanak pengarang di negeri ini. FLP membuat menulis dan bersastra tak lagi menjadi kegiatan ekslusif milik kaum cendekia. FLP menjadi satu-satunya organisasi pengarang yang berhasil membentuk rantai tak putus antara  pengarang-penerbit-pembaca-pengarang.
Makalah ini akan mengetengahkan sejarah, konsep, gerakan FLP di Indonesia dan mancanegara.
Pendahuluan
Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia (Taufiq Ismail)[3]
Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya–sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakarta dan di banyak kota besar lainnya.
Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 700 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. Mereka berusaha membina 4300 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula. Selama sepuluh tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 600 buku yang sebagian besar terdiri dari karya fiksi maupun non fiksi untuk dewasa, remaja dan anak.
Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian tersebut memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media  berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’!
Sejarah Berdirinya FLP
Tahun 1997 saya mengajak Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Mas­jid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan.
Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi kepenlisan. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima[4], dan saya terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya hanya 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang beberapa pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan  kecil-kecilan.
Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur: Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap provinsi.
Majalah Annida—sebuah majalah fiksi Islami bertiras sekitar seratus ribu eksemplar perbulan—yang saya pimpin pada waktu itu, menjadi salah satu sarana bagi munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari 2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida. Ditambah lagi, sampai tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Dari jumlah itu, sekitar 700 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 125 kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat provinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75% penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar ratusan pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani,  dan lain-lain.
FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama.[5] Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.
Anggota FLP termuda saat ini berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. “Muda” dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, antara lain DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka “FLP Kids” untuk anak berusia 5-12 tahun.
Banyak penulis muda dan calon penulis yang kemudian menjadi pengurus FLP di tingkat propinsi pada masa awal,. Di daerah-daerah yang belum ada kepengurusan, selalu terdapat koresponden FLP.
Teman-teman yang tengah melanjutkan pendidikan atau tinggal di luar negeri pada waktu itu, kemudian membuka kepengurusan FLP atau paling tidak menjadi koresponden FLP di negara tersebut seperti Muthmainnah (Inggris), A Rifanti (Amerika Serikat), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Ummu Itqon (Canada), Femina Sagita (Jepang), Sera Revalina (Singapura), Ahmad Muhajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), dan banyak lagi yang lainnya. Habiburahman El Shirazy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) juga membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang –penulis) Mesir. Yang lebih mengharukan, para TKW Indonesia di Hongkong, mendirikan pula FLP Hongkong, 16 Februari 2004. Semua anggotanya adalah pembantu rumah tangga. Kini mereka telah menerbitkan beberapa buku secara perseorangan maupun kelompok. Buku-buku mereka sebagian besar mengangkat persoalan buruh migran perempuan.

 

Konsep Forum Lingkar Pena

Sebenarnya konsep apakah yang diusung oleh Forum Lingkar Pena dalam dunia kepengarangan di Indonesia?
Saya kira konsep tersebut dapat terlihat pada visi, misi dan program kerja FLP.
Visi FLP yaitu membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan masyarakat/ummat.
Misi FLP di antaranya: (1) Menjadi wadah bagi penulis dan calon penulis, (2) Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat, (3) Turut meningkatkan budaya membaca dan menulis, terutama bagi kaum muda Indonesia, (4) Menjadi organisasi yang turut membidani kelahiran penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Program Kerja FLP:

1.                  Mengadakan pertemuan rutin (bulanan) bagi para anggotanya dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis atau cendekiawan
2.                  Pelatihan penulisan mingguan
3.                  Mengadakan diskusi/seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer
4.                  Mengadakan bengkel-bengkel penulisan
5.                  Aktif mengirimkan tulisan ke berbagai media massa
6.                  Menerbitkan buletin dan majalah
7.                  Membuat skenario teater, sinetron, film, dan lain sebagainya
8.                  Kampanye Gemar Membaca dan Menulis ke SD, SMP, SMU, pesantren dan universitas di Indonesia secara berkala
9.                  Mengadakan berbagai sayembara penulisan untuk pelajar, mahasiswa dan kalangan umum
10.              Pemberian Anugerah Pena
11.              Pelaksanaan program Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di berbagai tempat di Indonesia
12.              Kampanye “Sastra untuk Kemanusiaan” (Salah satunya dengan penerbitan Antologi Cinta, yaitu buku-buku yang ditulis bersama. Seluruh penjualannya diberikan pada program kemanusiaan)
13.              Menerbitkan minimal 10 buku karya para anggota perbulannya, dan lain-lain.
Sistem Pembinaan
Asas pembinaan bagi anggota-anggota FLP adalah kebersamaan, kontinuitas dan kompetensi. Kebersamaan berarti tidak mementingkan karya atau kemajuan diri sendiri, kontinuitas berarti secara kontinyu berkarya dan membina, serta kompetensi berarti setiap anggota akan berkarya sebaik mungkin, meningkatkan kualitas karya dan memiliki kejelasan arah serta tujuan dalam mencerahkan masyarakat.[6]
Dengan sistem keanggotaan yang berjenjang memungkinkan para anggota yang memiliki tingkat lebih tinggi memberikan pembinaan kepada anggota dibawahnya.  Jenjang keanggotaan tersebut terdiri dari anggota muda, madya dan andal. Anggota muda adalah mereka yang memiliki keinginan kuat, ketekunan untuk menulis namun belum memiliki pengalaman dan pengetahuan menulis. Anggota madya yaitu mereka yang telah menghasilkan karya di media massa lokal atau atau nasional atau pernah memenangkan sayembara penulisan tingkat daerah, namun belum cukup aktif menulis. Anggota andal yaitu mereka yang aktif menulis di berbagai media, telah membukukan karya-karyanya, pernah menjuarai sayembara penulisan tingkat nasional dan atau menjadi akademisi pada bidang sastra (kritikus) atau bidang komunikasi (jurnalistik), sering menjadi pembicara dalam berbagai acara yang berkaitan dengan penulisan.[7]
Selain sistem pembinaan yang berlapis, FLP juga menerapkan sistem rekomendasi bagi karya-karya penulis muda yang layak diterbitkan. Para anggota FLP yang telah  mempunyai nama, mengenalkan nama-nama lain – penulis FLP yang layak menerbitkan buku – setiap bertemu penerbit. Bentuk support yang lain adalah dengan memberikan endorsement di belakang karya-karya mereka, memberikan pengantar buku atau memberikan satu cerpen dalam antologi (kumpulan cerpen) bersama penulis-penulis baru. Dalam perkembangan selanjutnya, nama-nama yang ikut bergabung dalam antologi tersebut produktif pula menghasilkan karya-karyanya sendiri dan menjelma “mentor-mentor” baru yang kembali berkeliling sebagai relawan, turut membidani kelahiran penulis baru dan membantu menggodok penulis lain agar bisa meningkatkan kualitas karya mereka.[8]

FLP dan Sastra Bernuansa Islam

Karena FLP berawal dari majalah Annida, sebuah majalah fiksi Islami, maka FLP kerap diidentikkan sebagai komunitas yang mengusung jargon sastra Islami, meski secara resmi, FLP tak pernah mendeklarasikan hal tersebut.
Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang didalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.[9]  Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih kepada pembentukan jiwa.
Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau bukan tidak dilihat pada karyanya semata, namun juga pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra bagi pengarangnya adalah ibadah, pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Bahrum Rangkuti bahkan pernah berkata :”Bila Anda ingin menulis karya sastra Islam, anda harus terlebih dahulu menjadi sastrawan yang beriman serta merealisasikan keimanan dan keislamannya melalui amaliyah yang nyata.”[10]
Secara resmi, Komunitas FLP tidak pernah mengklaim bahwa karya-karya para anggotanya  adalah karya sastra Islam. Memang banyak di antara anggota yang (mencoba) menulis karya sastra bernuansa Islami atau sastra Islami, namun apakah benar karya mereka adalah sastra Islam atau Islami atau apapun, bagi FLP bukan menjadi persoalan. Yang penting bagaimana karya-karya tersebut mengambil bagian dalam proses mencerahkan para pembacanya. Di sini peran sastra yang sebenarnya diinginkan oleh Islam yaitu turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan akidah dan ahlak masyarakatnya.[11] 
Dengan demikian, para anggota FLP, baik yang muslim maupun non muslim secara tak tertulis bersepakat untuk:
1.  Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika.
Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak akan (tidak boleh) menambah buruk keadaan masyarakatnya.
2. Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati).
Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.
3. Pengarang sebagai teladan masyarakat
Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, dan berbagai pandangan buruk lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.[12]
Tentang penulis-penulis FLP, Sunarwoto mengungkapkan sebagai berikut :
‘… karya mereka sebenarnya tidak jauh beda dengan cerpen-cerpen Indonesia kotemporer yang sudah ada. Sarat dengan tema sosial, budaya, adat, cinta dan semangat penentangan terhadap rezim yang korup. Bedanya, mereka lebih suka membungkus karyanya dengan diksi-diksi yang lembut, santun dan mendidik. Tak ada sepotong narasi dan dialog pun yang muncul dengan bahasa kasar. Juga tidak begitu murahan mengumbar kecabulan…”[13]
Gerakan Pesat Meski Minim Dana
Meski minim dana[14], kegiatan-kegiatan FLP tak pernah berhenti. Hampir setiap minggu ada saja acara kepenulisan yang diadakan oleh FLP, baik pada kepengurusan pusat, wilayah (propinsi), cabang (kota, kabupaten) atau ranting.[15] Saya sendiri hampir tiap minggu harus ke luar provinsi untuk menghadiri acara-acara yang diadakan FLP di sana.
Untuk program penerbitan buku FLP telah bekerja sama dengan para penerbit seperti Syaamil (Bandung), Mizan (Bandung), Era Intermedia (Solo), D & D Publishing House (Solo), Lapena (Banda Aceh), Pustaka Annida (Jakarta), FBA Press (Depok), Gunung Agung (Jakarta), Pustaka Ummat (Bandung), Zikrul Bayan (Jakarta), Ghalia (Jakarta), Gramedia (Jakarta), Senayan Abadi (Jakarta), Wisata Hati (Jakarta), Cakrawala (Jakarta), MVP (Solo), Indonesia Tera (Magelang), Hikmah (Jakarta), Cinta (Jakarta), dan masih banyak lagi. Tahun 2003 bersamaan dengan terbentuknya Yayasan Lingkar Pena yang menjadi badan hukum FLP[16], FLP membuat penerbitan sendiri yang diberi nama: Lingkar Pena Publishing House.
Selama sepuluh tahun keberadaan FLP, sekitar 600 buku karya rekan FLP terbit dan pemasarannya tergolong bagus. Karena itu kini semakin banyak penerbit dari berbagai kalangan yang  mengajak FLP bekerjasama dalam usaha penerbitan buku.
Uniknya, rekan-rekan muda FLP di beberapa propinsi juga mengumpulkan naskah dan menerbitkan buku karya para penulis daerah mereka. Misalnya buku Doa Untuk Sebuah Negeri karya FLP Aceh (Syaamil, 2001), Atas Nama Cinta, karya FLP Bandung (Syaamil, 2000) atau Salsa Tersayang (Syaamil, 2000) dan Tarian Sang Hudoq (Syaamil 2002), karya FLP Kalimantan Timur, Kucing Tiga Warna karya FLP Sumatera Selatan (Syaamil, 2002), Jatuh Cinta Pada Bunga karya FLP Surakarta (Era Intermedia, 2002), Karma Sang Srigala karya FLP Semarang (Era Intermedia, 2002), Lihatkan Bintang Untukku karya FLP Yogyakarta (Mizan, 2003), Surga yang Membisu karya FLP Depok (Zikrul Hakim, 2003), Kutemukan Warna karya FLP Mesir (Mizan, 2003) dan masih terlalu banyak untuk disebutkan.
Cermin dan Malam Ganjil (FBA Press, 2002) adalah antologi cerpen bersama FLP yang didedikasikan bagi sastrawan senior Yusakh Ananda. Seluruh honor pengarang diserahkan langsung saat milad (ulang tahun –penulis) FLP tahun 2002 lalu, kepada Ibnu HS (Ketua FLP Kalimantan Barat), mewakili Sastrawan Yusakh Ananda (waktu itu 68 th).
Sebelumnya FLP juga membuat kumpulan cerpen bersama: Ketika Duka Tersenyum (FBA Press, 2002) yang seluruh penjualannya didedikasikan bagi Pipiet Senja, pengarang prolifik pengidap thalassemia. Buku lainnya: Doa untuk Sebuah Negeri (Syaamil, 2000) adalah karya para perempuan pengarang FLP Aceh yang berusia 18-28 tahun. Buku tersebut didedikasikan bagi para anak, janda dan pengungsi Aceh. Buku Merah di Jenin (FBA Press, 2002) yang merupakan ‘keroyokan’ para pengarang FLP nusantara juga FLP Mesir didedikasikan bagi anak-anak Palestina. Meski bukunya baru diluncurkan, FLP menyumbangkan seluruh royalti buku untuk anak-anak Palestina tersebut, melalui MER-C (organisasi bantuan medis sukarela –penulis).
Bekerjasama dengan lima penerbit, FLP memprakarsai gerakan “menyumbang dengan cerpen”, yaitu penggalangan dana bagi korban gempa-tsunami di Aceh dengan cara menyumbang cerpen. Alhamdulillah langsung terkumpul dana 40 juta dimuka, untuk lima buku yang kemudian diterbitkan. Penerbitan buku-buku seperti itu menjadi salah satu bagian dari program kampanye “satra untuk kemanusiaan” yang akan terus dilakukan FLP melalui “antologi cinta”.
Di luar hal tersebut, kini di setiap kota yang memiliki cabang FLP, secara bertahap mulai didirikan Rumah-rumah Cahaya (rumah baCA dan HAsilkan karYA). Tempat tersebut bukan sekadar taman bacaan, melainkan juga tempat latihan menulis—gratis–bagi kalangan tak mampu. Rumah Cahaya FLP Aceh bahkan menjadikan membaca dan menulis sebagai salah satu bentuk terapi bagi korban DOM dan tsunami.
FLP yang Fenomenal
Berbagai pendapat muncul tentang FLP dalam kaitannya dengan kesusastraan Indonesia kontemporer. Dari segi pembinaan banyak pihak yang menyatakan salut terhadap upaya yang dilakukan FLP. Namun dari segi kualitas karya sebagian besar rekan FLP memang masih dianggap para kritikus sastra sebagai pemula yang akan terus bermetamorfosis.[17]
 Perlu disadari bahwa hampir semua anggota FLP pada awalnya hanyalah calon penulis, bukan penulis/sastrawan yang sudah jadi. Para anggota FLP juga tidak tumbuh bersama sejumlah nama besar yang menempel di belakangnya.  Jadi ketika dari belum bisa menulis, kemudian mereka menulis dan mampu menerbitkan buku (rata-rata pada usia bawah 25 tahun), bukankah itu suatu pencapaian yang luar biasa? Kita mengharapkan mereka terus belajar, berproses menjadi penulis yang lebih berkualitas lagi. Tidakkah hal itu merupakan langkah awal yang sangat baik dan layak diapresiasi?
Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra religius kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra.[18] Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.[19] Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’.[20] Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.[21] Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional.
Maka tiba-tiba saya kembali teringat Galang Lufityanto, pemuda Yogya, kelahiran 1981 yang menulis karya fiksi sama baiknya dengan karya ilmiah, yang berkali-kali menjadi juara I dalam berbagai lomba penulisan tingkat nasional dan telah menerbitkan bukunya: Bisikan dari Langit ( Mizan, 2001) dan Tidak Hilang Sebuah Nama (Era Intermedia, 2002). Bersama teman-teman FLP Yogya, Galang membuat konsep pelatihan penulisan empatik, yang mempercepat lahirnya para penulis anggota FLP di sana.
Lalu Sakti Wibowo, mantan buruh pabrik roti yang cerdas dan telah menulis puluhan buku, di antaranya Tanah Retak (Syaamil, 2003), novel sejarah menjelang perang Jawa 1825-1830.  Saya terbayang Agustrijanto yang karyanya Tonil Nyai di Ujung Senapan (Syaamil, 2001) dan Wiracarita Adi Cenik (Syaamil, 2002) dibuat dengan perpaduan riset luar biasa dan jalinan cerita yang indah.
Saya teringat pelajar sederhana, Meldy Muzada Elfa dari Barabai, yang dalam usia 14 tahun (kelas 2 SMP) telah menerbitkan dua buku fiksi dan berkali-kali menjadi pelajar teladan se-Kalimantan Selatan. Lalu Syamsa Hawa, si juara kelas, yang dalam usia 13 tahun telah menulis puluhan cerpen dan pada usianya yang ke 14 tahun menerbitkan bukunya Di Balik Cahaya Rembulan (Era Intermedia, 2001).
Adzimattin Nur yang menulis buku pertamanya dalam usia 13 tahun dan hanya dalam waktu dua tahun kemudian ia sudah menghasilkan 7 buku!  Abdurahman Faiz yang menerbitkan dua buku puisinya dalam usia 8 tahun. Kini dalam usia 11 tahun ia sudah menerbitkan 6 buku dan 5 antologi bersama, serta meraih 9 penghargaan tingkat nasional. Salsabila yang buku kumpulan cerpen pertamanya terbit saat ia berusia 7 tahun, Adam Putra Firdaus yang mencatatkan karyanya dalam antologi cerpen saat berusia 5 tahun. Mereka bangga disebut pelopor FLP Kids.
Saya ingat Asma Nadia yang dua bukunya: Rembulan di Mata Ibu (Mizan,
2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan 2001) menjadi buku terbaik tingkat
na­si­o­nal versi Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia 2001-2002 yang membawanya sebagai pengarang terbaik tingkat nasional IKAPI. Ia juga Pengarang terbaik versi Penerbit Mizan, 2003 dan pengarang muda yang menerima hadiah Mastera untuk karyanya Derai Sunyi (2004). Asma  menulis 10 buku dalam satu tahun! Buku-bukunya langsung mengalami cetak ulang saat baru satu bulan terbit.
Ia baru kembali dari Korea, mewakili Indonesia dalam pertemuan sastra di sana.
Ada juga Ninik Handrini yang dalam usia 25 tahun telah menulis lebih dari 30 buku cerita anak. Saya terkenang Muthmainnah, yang kini tinggal di Inggris. Karyanya: Pingkan Sehangat Mentari Musim Semi (Syaamil, 1998) terus mengalami cetak ulang sampai sekarang.
Saya terbayang Nurhadiansyah, Ketua FLP Depok, seorang koki muda yang bekerja pada sebuah kafe di Jakarta. Ia menulis dengan sangat indah dan tengah mempersiapkan buku pertamanya yang saya kira akan mencengangkan banyak pembaca. Lalu ada Alimudin di Lhokseumawe, Wildan Nugraha di Bandung, dan Ragdi F. Daye di Padang. Saya mengikuti perkembangan mereka yang pesat, sejak mereka mulai menulis cerpen remaja hingga cerpen-cerpen yang serius. Wina Karnie dan Swastika Mahartika, pengurus FLP Hong Kong yang menjadi domestic helper di sana juga memiliki karya-karya yang boleh diadu secara estetika.
Saya bangga pada Tary yang selalu saja memenangkan sayembara penulisan cerpen tingkat nasional tiap tahunnya. Juga pada  Habiburrahman El Shirazy, mantan Ketua FLP Mesir yang karyanya Ayat-Ayat Cinta (Republika 2004) mendapat sambutan luar biasa dari berbagai kalangan, pada Tasaro (Taufiq Saptoto Rohadi) yang novel dan tulisannya kerap mendapat banyak penghargaan nasional, antara lain Di Serambi Mekkah (DAR! Mizan) sebagai cerita remaja terbaik Adikarya IKAPI 2006.
“Tentu saja kita ingin banyak penulis di negeri ini. Dengan adanya FLP ini
akan menjadi kerja yang sinergis,” kurang lebih kata-kata itulah yang terucap dari bibir para penulis muda itu, saat pertama kali bergabung dengan FLP.
Penutup
Dalam perdebatan di mailing list penyair@yahoogroups.com, beberapa penyair mengatakan bahwa penulis yang mendirikan dan ikut dalam suatu komunitas adalah mereka yang tidak percaya diri dan takut untuk tampil sendirian. Ada juga sastrawan yang menyatakan bahwa sebagai sastrawan kita tak akan pernah bisa merdeka menulis, bila berada dalam suatu komunitas.
Benarkah demikian?
FLP membuktikan keberadaannya adalah untuk saling memajukan serta membantu membidani kelahiran para penulis pelapis. Di FLP, para anggotanya merdeka untuk menulis apa saja, namun tetap dengan mengedepankan nurani.[22]
FLP juga gembira dengan kian menjamurnya  komunitas sastra di berbagai pelosok negeri dan siap bekerjasama memajukan budaya membaca dan menulis di negeri ini. 
Setelah tahun demi tahun berlalu, semoga apa yang dilakukan Forum Lingkar Pena sebagai gerakan budaya, gerakan kemanusiaan, bisa memberi sumbangsih bagi kemajuan peradaban bangsa.
 Seperti yang dinyatakan Maman S. Mahayana, “Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!”[23] 
Semoga!


DAFTAR PUSTAKA
Al Faruqi, Ismail Raja, Cultural Atlas of Islam, New York, Mc Millan, 1986
Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999
Rosa, Helvy Tiana (ed.), Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP, Lingkar Pena Publishing House, 2004
Rosa, Helvy Tiana, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, 2003
“Beneath The Burqah,” Paul Watson, Los Angeles Times, 23 Februari 2007.
“Fenomena Forum Lingkar Pena”, Maman S. Mahayana, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007
“FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda,” Republika, 20 September 2002
“Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia,” The Straits Times, 28 Juli 2002
Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda“, Koran Tempo, Maret, 2003
Helvy Tiana Rosa Hasilkan 20 Buku Lebih“, Suara Muhammadiyah No. 1 th ke-88, 1- 15 Januari 2003
“Helvy Tiana Rosa, Sebuah Potret Pertarungan Idealisme dan Kapital dalam Perkembangan Sastra Kontemporer di Indonesia,” Twediana Budi Hapsari, Makalah, Desember 2003.
Menandai Kebangkitan Fiksi Islami“, Sunarwoto Prono Legsono, Republika, 24 Agustus 2003
“Menyemai Bintang di Padang Ilalang; Tentang Regenerasi Sastra Indonesia”, Jamal D. Rahman, Makalah, Pertemuan Sastrawan di Singapura, 13 september 2003.


[1] Makalah ini disampaikan pada Konferensi Internasional HISKI, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 8 Agustus 2007
[2] Pengarang, Pendiri FLP, kini adalah Ketua Majelis Penulis FLP, Dosen FBS- Universitas Negeri Jakarta, dan Direktur Lingkar Pena Publishing House
[3] Disampaikan pada Milad FLP tahun 2002 di Jakarta
[4] Yayasan Prima berubah nama menjadi Yayasan Lingkar Pena, Desember 2003.
[5] Inklusivisme FLP dalam soal agama tampak ketika FLP menyelenggarakan Sayembara Novel FLP 2005. Pemenang kedua sayembara itu jatuh pada novel berjudul Gadis Kunang-Kunang karya Olyrinson, sastrawan muda Riau (baca: Melayu) keturunan Tionghoa beragama Kristen. Olyrinson sendiri menyatakan bahwa FLP adalah komunitas yang keanggotaannya terbuka untuk setiap orang dan tidak ada kaitannya dengan persoalan agama, etnik, dan usia.
[6] Sistem Pembinaan Forum Lingkar Pena
[7] Helvy Tiana Rosa, Segenggam Gumam Esai-Esai tentang Sastra dan Kepenulisan, As-Syamil, Bandung, 2003, hal 51
[8] Kisah-kisah menggugah dan mengharukan mengenai kegiatan dan para relawan FLP dapat dibaca pada buku Matahari Tak Pernah Sendiri; Kisah Seru Aktivis FLP (Jilid I dan II), Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2004.
[9] Ismail Raja Al Faruqi. Cultural Atlas of Islam, New York, Mc Millan, 1986, hal 29
[10] Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta , 1999 hal 283
[11] Ibid
[12] Maman S. Mahayana dalam makalahnya “Fenomena Forum Lingkar Pena”, disampaikan dalam Diskusi Besar 10 Tahun Forum Lingkar Pena, di Jakarta, Februari 2007
[13] Sunarwoto, Op.Cit.
[14] Dana FLP lebih banyak berasal dari iuran anggota Rp 2500/bulan— yang tak selalu rutin dibayarkan
[15] Ranting FLP adalah sebutan untuk kepengurusan FLP di sekolah, pesantren atau universitas.
[16] Sebelumnya FLP adalah Badan Otonom dari Yayasan Prakarsa Insan Mandiri, Jakarta.
[17] Penyair Beni R. Budiman sebelum meninggal mengatakan banyak muncul ‘mualaf’ sastra dari FLP. Penyair Jamal D. Rahman menyebut FLP sebagai tempat menempa penulis remaja untuk kemudian menjadi sastrawan yang diperhitungkan.
[18] Februari 2003: “FLP Gigih Lahirkan Penulis Muda”
[19] 28 Juli 2002: “Fiction with Islamic Theme Selling Well in Indonesia”
[20] “Helvy Tiana Rosa, Lokomotif Penulis Muda”, Koran Tempo, Maret, 2003.
[21]  www.cybersastra.net
[22] Koko Nata Kusuma, Tasaro, Wina Karnie dan anggota FLP yang lain misalnya, berani menulis hal yang berkaitan dengan persoalan seks—hal yang terkesan dihindari sebagian besar anggota FLP. Meski demikian tulisan mereka tidak terkesan vulgar karena kaya dengan metafor.

[23] Maman S. Mahayana, Op.Cit.

sumber: http://helvytr.multiply.com

Leave a Comment