“Mungkin ini sampah, gombal, dan semacamnya; tapi lebih baik membacanya daripada diam tak berarti” kataku. Ia tak menjawab apapun dari satu juta makna yang aku lemparkan, hanya bahasa tubuhnya mengisyaratkan ia mencoba mengerti. Tangannya bergerak menyentuh buku yang kuacungkan didepannya. “Buku apa ini?”, cuma senyum jawabku, “Buku siapa ini?” ia bertanya. “Jelas milikku!” ,”Lantas kenapa kau suruh aku membacanya?” katanya. “Aku hanya ingin engkau mencoba mengerti!”. Detik-detik kemudian suaranya menghilang, getarannya ditelan ragu; Aku tahu ia bimbang dan takut, namun kuyakinkan ia, “Bacalah, dan kau akan mengerti. Mungkin engkau tak harus mengerti dari seratus juta kata yang tercetak dalam buku yang aku berikan. namun ketahuilah Tuhan ada, ia tak dapat engkau mengerti atau engkau lihat sekalipun. Namun indra mu yang paling kuat dapat menerima keberadaannya, ialah Hati. Rasakan Tuhan dengan hatimu, dalam semua bentuk kehidupan ia ada. Hayatilah Ia dan Syukuri Ia, maka engkau akan temukan yang selalu engkau ingin temukan.” Dia menatapku sejenak, kulihat bebannya melemah.
“Kenapa kau ingin aku mengerti?” “Aku hanya tak menginginkan engkau tidak mengerti!” kataku.
Ia menatapku penuh tanya dan curiga. Dalam waktu yang tak sebentar itu aku tahu, ia lebih takut bahwa ia mengerti perkataanku daripada takut aku mempengaruhinya. Tapi lebih jauh daripada itu aku tak pernah tahu sedalam apa ia melihatku, Aku juga bukan manusia yang bisa mengatakan apa yang telah aku katakan. Hingga akhirnya ia jengah, maka ia melenggang dari hadapanku “Katakan satu alasan kenapa kau memberikan buku ini padaku?, kenapa aku?”, “Siapa lagi yang mencoba mengerti, hanya kau yang mempertanyakan kegundahan dan kegelisahanmu. Bukanlah manusia-manusia yang larut dalam ria gempita, hanya engkau yang menginginkan aku untuk aku datangi, hanya engkau yang menginginkanku, dan hanya engkaulah yang aku punya.”
Gerak tubuhnya jelas, ia pergi, lenyap ditelan cakrawala.