
Prang!
Tubuh mungil Andi membeku. Bocah berusia lima tahun itu hanya bisa menatap pecahan keramik yang berserakan di lantai.
“Suara apa itu, Den Andi?” Ijah, pembantu keluarga mereka, tergopoh-gopoh memasuki ruang tamu. Langkahnya terhenti saat tahu penyebab bunyi nyaring barusan.
“Vas kesayangan ibu…” Suaranya tercekat. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Sebuah bola plastik menggelinding dan terhenti ketika mengenai kakinya.
Andi tersentak mendengar perkataan wanita setengah baya itu. Ia teringat peringatannya sepuluh menit yang lalu,
“Den Andi, main bolanya jangan di dalam rumah, ya. Nanti kena barang-barangnya Ibu sama Bapak.”
Tapi begitu wanita itu pergi ke dapur, ia kembali menyepak bundaran plastik itu. Bolanya melayang, menubruk lemari di sudut ruang dimana vas keramik ibu terpajang di salah satu raknya. Vas itu goyah, jatuh ke lantai, lalu pecah berkeping-keping.
Andi gemetar ketakutan membayangkan kemarahan ibunya nanti. Ia tahu betul betapa ibunya sangat menyayangi benda itu. Setiap saat, ia selalu menoleh dan memandanginya meski dari jauh, seolah ingin memastikan vas itu tetap berada di sana. Tanpa bisa ditahan, bulir-bulir air mengalir deras dari matanya yang bulat.
Ijah yang menyadari anak majikannya tersedu, buru-buru menghampiri dan berusaha menghiburnya,
“Sudah, sudah. Den Andi jangan nangis,” ujarnya sambil berlutut.
“Andi… takut, Bik,” terbata Andi menjawab di antara sengguk tangisnya. “Mama sayang sekali sama vas itu. Andi pasti dimarahi.”
Ijah memandang bocah itu iba. “Kalau Den Andi jujur bilang sama ibu, Bibik yakin, ibu nggak akan marah.”
Sembari mengusap lembut pundak Andi, ia kembali membujuk, “Jika Den Andi takut bilang sendirian, nanti Bibik temani.”
Meski masih tersedan, Andi menganggukkan kepalanya. Ada rasa lega terselip di dadanya. Setidaknya, ia takkan menghadapi ibunya sendirian. Sayangnya, bocah itu tak sempat melihat senyum lega juga terpancar dari wajah sang asisten rumah tangga.
Ingatan Ijah terlempar ke seminggu yang lalu. Saat itu, ia terburu-buru. Kerjaannya tak kunjung selesai, padahal sinetron yang biasa ia ikuti, akan segera tayang di televisi. Ia tak ingin ketinggalan satu episode pun karena ceritanya sedang seru-serunya.
Ijah hanya menyapu bidang yang terlihat tanpa menghiraukan debu di kolong lemari. Biasanya ia selalu mengelap perabotan dengan hati-hati, tapi hari itu ia memutuskan untuk membersihkan hanya dengan kemoceng. Toh, ia mengelapnya setiap hari dengan kain, jadi takkan masalah jika sehari saja absen, kan? Begitu pikirnya.
Naas, saat ia sedang membersihkan rak, kemocengnya menyenggol vas itu. Berkat refleksnya yang cepat, sesaat sebelum mencium lantai marmer, ia berhasil menangkapnya. Namun, gerabah itu sempat terantuk pinggiran rak sebelum sampai di tangannya. Benturan itu menyebabkan sebagian bibir vas patah.
Ijah panik. Ia teringat pesan yang Bu Astri selalu sampaikan sebelum pergi kerja,
“Bik, jaga rumah baik-baik. Pastikan Andi makan tepat waktu. Dan, jangan lupa lap vas itu.”
Sebegitu penting keramik itu buat sang nyonya rumah, hingga posisinya sama dengan rumah dan anaknya. Meski wanita separuh baya itu sudah bekerja di sana semenjak Andi masih dalam kandungan, ia tak bisa menjamin Bu Astri takkan memecatnya jika tahu ia membuat vas kesayangannya cacat.
Untungnya, saat itu tak ada yang melihat kejadian itu. Ijah dengan hati-hati meletakkan vas itu di tempat semula. Bagian yang tercuil ia hadapkan ke bagian dalam rak. Sekilas, vas nampak baik-baik saja, takkan ada yang sadar jika gerabah itu tak lagi utuh. Meski Ijah tahu situasi itu takkan bertahan selamanya.
Setiap hari, Ijah merasa cemas. Jantungnya serasa berhenti berdetak setiap kali sang nyonya rumah menoleh dan menatap vas tersebut.. Oleh sebab itu, ia lega sekali saat Andi memecahkannya. Barang bukti atas kesalahannya sudah tak ada lagi. Kini, tak ada yang tahu jika dia duluan yang mematahkannya.
***
Seperti biasa, saat memasuki rumah, tatapan Bu Astri akan terhenti sejenak di lemari sudut ruang tamu. Tepatnya, di salah satu rak dimana vas itu berada. Setelah memastikannya baik-baik saja, ia akan kembali melanjutkan aktivitasnya. Tapi, hari ini berbeda. Gerabah antik yang mencolok di antara perabotan bergaya minimalis, raib.
Wajah Bu Astri yang masih terpoles make up yang tak luntur meski ia sudah bekerja delapan jam, terlihat panik.
“Bik!”
Ia berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Namun, yang datang justru putra semata wayangnya.
Andi mendekati ibunya takut-takut. Jemarinya sibuk memilin ujung baju sementara matanya menatap lantai. Bik Ijah mengekor di belakangnya, meletakkan tangan di bahunya untuk memberikan dukungan.
“Ma…” ragu-ragu, ia memanggil.
Bu Astri menoleh memandang anaknya. Tak ada raut riang di wajah putranya saat menyambutnya pulang kerja seperti biasa.
“Maafin Andi, Ma…” Suara Andi bergetar. Sudut matanya mulai berair. Air matanya turun perlahan ke pipinya yang bundar.
Andi tadi main bola di dalam rumah. Dan, bola itu kena vas Mama. Vas-nya jatuh, terus pecah,” akunya lugu.
Pengakuan jujur itu memecahkan bendungan air mata Andi. Tangisnya mengeras. Ia merasa bersalah sekaligus lega. Lega, karena sudah jujur mengakui kesalahannya.
Bu Astri bersimpuh lalu memeluk putra satu-satunya. “Sudah, sudah. Andi jangan nangis lagi.”
“Mama nggak marah?” Andi yang masih berada di pelukan ibunya bertanya tak percaya.
“Nggak, mama nggak marah karena Andi sudah jujur.” Bu Astri tersenyum bahagia, meski sumber kebahagiaannya sebenarnya bukan seperti yang ia katakan.
Astri teringat sesaat setelah ia menikah, ibu mertuanya mendatangi rumah mereka dengan membawa sebuah kotak seukuran kotak sepatu. Saat kotak dibuka, di dalamnya tergeletak sebuah vas berwarna biru tua.
“Astri, ini adalah harta turun temurun keluarga kami,” wanita seumuran ibunya itu memberi penjelasan.
Vas keramik ini sudah ada sejak jaman kakek buyut-nya Arifin, suamimu. Semenjak itu, selalu diturunkan kepada keluarga anak lelaki pertama. Sang istrilah yang diserahi untuk menjaganya. Dulu, ibu menerima ini dari neneknya Arifin. Sekarang, karena kamu sudah menjadi istri anakku, maka kini tugasmulah menjaga warisan ini,” lanjutnya panjang lebar.
Astri memandang isi di dalam kotak tersebut yang terus terang, jauh dari kata indah. Bentuknya tak mulus. Seperti dikerjakan oleh seorang amatiran. Bahkan warna birunya pun tak merata di seluruh permukaannya. Tak ada lukisan seperti keramik Cina yang biasa ia lihat. Polos dan buruk rupa.
“Vas ini… saya harus menyimpannya saja kan, bu?” tanyanya hati-hati. Ia berharap tak pernah melihatnya lagi setelah hari ini.
Sayangnya, mertuanya menggeleng.
“Konon, vas ini bisa menolak bala. Jadi, kamu harus meletakkannya di tempat yang bisa dilihat pertama kali saat masuk rumah, agar hal-hal buruk yang akan masuk ke rumah ini langsung tertolak.”
Astri mendengus pelan. Ia tidak percaya dengan klenik semacam itu. Ia ingin melancarkan protes lagi, tapi ibu mertuanya keburu bangkit dari sofa. Ia mengambil keramik itu dengan hati-hati dari dalam kotak, lalu melangkah ke lemari di sudut ruang. Ia berhenti di salah satu rak buku yang memajang foto pernikahannya dengan Arifin.
“Tempat ini sangat sesuai untuk memajang benda ini.” Ibu mertuanya menyingkirkan pigura foto dan meletakkan vas keramat itu di tempat foto pernikahan anaknya tadi berada.
Foto pernikahan itu sebaiknya disimpan di kamar tidur saja. Tidak usah dipajang dan diperlihatkan ke orang lain.”
Astri tak sanggup berkata-kata saking terkejutnya. Ia tak menyangka mertuanya akan datang dan menginvasi ruang privasinya. Lalu dengan semena-mena mengatur apa yang boleh dan tak boleh ia letakkan di rumahnya sendiri.
Tanpa menghiraukan raut wajah menantunya yang menggelap, mertuanya melanjutkan wanti-wantinya,
“Ibu minta kamu menjaganya baik-baik. Jangan lupa untuk membersihkannya setiap hari. Dan ingat, jangan pindahkan vas ini ke tempat lain.”
Astri merasa percuma membantah ibu mertuanya. Semenjak sebelum menikah dulu, Arifin sudah memperingatkan akan wataknya yang keras dan tak suka dibantah. Ia terpaksa mengiyakan wejangan mertuanya dan berencana untuk membujuk suaminya saja nanti.
“Mas, kita masukkan saja keramik itu dalam lemari supaya nggak ada yang lihat.” Astri berusaha membujuk suaminya sepulang kerja.
Aku malu. Masak rumahku sudah ditata apik, tapi hanya karena vas jelek itu, semua usahaku jadi sia-sia.”
Suaminya hanya bisa menghela napas. “Jangan, Dik. Kamu tahu sendiri temperamen ibu. Kalau ia sampai tahu nasihatnya tidak dituruti, bisa-bisa kamu dimusuhi seumur hidup.”
“Tapi kan, kita bisa keluarkan hanya saat ibu datang. Ibu nggak akan tahu”
“Aku nggak mau melanggar nasihat ibu, Dik. Ibu nggak tahu, tapi kita dan Tuhan tahu. Aku takut kualat.”
Astri bersyukur memiliki suami yang berbakti pada orang tuanya, tapi hanya untuk sekali itu saja, ia berharap suaminya menuruti perkataannya.
Sudah, sudah… Taruh saja di ruang tamu, lalu jangan dihiraukan. Kalau kamu nggak mau mengurusnya, suruh saja orang lain untuk membersihkannya.” Perkataan suaminya menutup debat mereka.
Entah sudah berapa kali Astri berusaha membujuk suaminya. Mulai dari cara biasa, merajuk, hingga dengan alasan mengidam saat hamil Andi. Tapi, suaminya tak juga bergeming.
“Tak ada salahnya menaati perkataan ibu, Dik. Kalau kamu nggak setuju dengan alasan kalau vas itu bisa menolak bala, pajang saja dengan alasan menyenangkan hati orang tua.” Begitu selalu alasan suaminya. Astri hanya bisa diam seribu bahasa.
Akhirnya ia menyerah. Gerabah buruk rupa itu tetap berada di ruang tamu.
Keberadaan vas itu seperti setitik nila yang merusak sebelanga susunya. Warnanya yang biru menonjol di antara perabotan rumah yang dominan berwarna putih. Bentuknya yang antik tak sesuai dengan gaya dekorasi minimalis. Setiap kali ada tamu yang berkunjung, mata mereka langsung tertuju pada keramik itu. Terkadang mereka bertanya, namun seringkali hanya melemparkan pandangan aneh sambil mengernyitkan dahi seperti melihat sesuatu tidak pada tempatnya.
Astri tak dapat berbuat apa-apa. Buatnya, vas itu menjelma menjadi duri ikan yang menusuk kerongkongannya. Ia tak bisa menghilangkannya tapi rasa nyeri itu selalu ada. Akhirnya, ia terobsesi pada keramik itu. Setiap melihatnya, di dalam pikirannya ia memecahkan vas itu ribuan kali.
Tak dinyana, solusi atas masalah yang selalu mengganggunya itu datang tanpa diduga. Saat Andi mengaku ia memecahkan vas itu, hatinya girang bukan kepalang. Seringainya bertambah lebar saat membayangkan suaminya dan mertuanya takkan bisa berkata apa-apa. Arifin tak mungkin menyalahkan kelalaian Andi. Sedangkan neneknya Andi tak mungkin memarahi cucu lelaki dari anak lelaki satu-satunya. Tanpa campur tangannya, vas itu kini tersingkir selamanya. Astri memeluk Andi lebih erat.
Karya : Mirna Rizka
simple tapi twistnya dapet. 🙂
True